WELLCOME

MAI TA CUA SAMADA ANGI, TA CUA MECI MENA ANGI, TAHOKURA MORI RA WOKO DI DUNIA MA SAMPE DI AHERA

Kamis, 18 November 2010

CITRA GURU INDONESIA; Antara Cita dan Realitas

CITRA GURU INDONESIA;
Antara Cita dan Realitas



Abstrak
Guru adalah komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, karena ia akan mengantarkan anak didik pada tujuan yang telah ditentukan, bersama komponen yang lain terkait dan lebih bersifat komplementatif. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di dalamnya. Tugas mendidik secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Citra guru terbentuk pada profesi yang melekat pada pribadi guru itu, bagaimana sikap keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Citra guru akan dinilai baik oelh masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atu teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat  terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya, serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Bagaimana idealnya citra guru, dan seperti apa pula realita citra guru saat ini adalah objek yang menjadi fokus tulisan ini dengan mengkomparasi kedua item tersebut diharapkan dapat menemukan benang merah, sebagai solusi untuk  meningkatkan dan mengangkat martabat guru sehingga kedepan guru mampu mengatarkan the children of today are the leaders of tomorrow.  
.
Citra Guru Indonesia
Slogan pahlawan tanpa tanda jasa senantiasa melekat pada profesi guru. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya yang begitu tinggi dan tulus dalam dunia pendidikan. Tidak hanya itu, sikap kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketulusan, kesopanan serta sebagai sosok panutan menjadikan profesi satu ini berbeda dengan yang lain. Lantaran tanggung jawab dari profesi guru tidak berhenti pada selesai ia mengajar, melainkan keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, mempraktekkan serta mengamalkan ilmu yang diterima dalam kehidupan sehari-hari baik langsung maupun tak langsung. Hal ini membuat citra seorang guru di mata masyarakat selalu berada di tempat yang lebih baik dan mulia.
Guru dalam kaitaannya dengan kelembagaan, sebagaimana yang dikemukakan Djamin (1999), bahwa citra guru mempunyai arti sebagai suatu penilaian yang baik dan terhormat terhadap keseluruhan penampilan yang merupakan sosok pengembang profesi ideal dalam lingkup fungsi, peran dan kinerja. Citra guru ini tercermin melalui keunggulan mengajar, memiliki hubungan yang harmonis dengan peserta didik, serta memiliki hubungan yang harmonis pula terhadap sesama teman seprofesi dan pihak lain baik dalam sikap maupun kemampuan profesional. Dari sudut pandang peserta didik, citra guru ideal adalah seseorang yang senantiasa memberi motivasi belajar yang mempunyai sifat-sifat keteladanan, penuh kasih sayang, serta mampu mengajar di dalam suasana yang menyenangkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa citra guru berkaitan erat dengan profesionalitas guru yang berhubungan dengan tugas dan kewajibannya sebagai diri pribadi, pendidik, dan hubungan sosial-kemasyarakatan.
Pola perilaku guru berhubungan dengan profesinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetjipto dan Raflis Kosasi (2007:43) adalah berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya yakni, sikap profesional keguruan terhadap: peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.

Potret Guru Masa Kini
Pemaknaan istilah guru dewasa ini nampaknya agak bergeser. Guru yang dahulunya figur sebagai panutan, sosok yang kharismatik dan dipandang sebagai manusia paripurna; tokoh yang dihormati dan dijujung tinggi setiap ucapan dan petuahnya bahkan dianggap berkah; larangannya adalah suatu kemestian yang harus dihindari dan dijauhi, kedudukan guru diibaratkan wakil Tuhan di bumi ini. Tetapi dewasa ini, guru dipandang sebagai orang yang bertugas untuk memberikan pengajaran/pelajaran kepada peserta didiknya dalam waktu tertentu dan dapat dinilai dengan materi. Tugas guru seakan dibatasi oleh ruang dan waktu ketika dia bertugas, sementara diluar itu adalah urusan pribadi. Peran guru hanya sebatas mengajar bukan mendidik. Tidak jarang guru hanya mengajari anak didiknya berperilaku baik sementara dirinya tidak demikian. Hubungan psikologis guru dan murid tidak terjalin dengan baik, seakan tidak ada tanggung jawab moral antara guru dan murid. Indikasi dari hal tersebut terlihat pada bentuk penghormatan murid pada guru nihil, contoh diluar kelas siswa acuh tak acuh (cuek saja) dengan gurunya, tatkala bersikap atau berbuat yang melanggar etika, misalnya merokok di depan umum (guru), minuman keras dan sejenisnya. Guru ketika di luar kelas dipandang sebelah mata oleh muridnya.
Sejalan dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.
Pada aspek lain yang semakin hangat diperbincangkan. Masyarakat sering mengeluh dan menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua mengikutsertakan putra-putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral para pelajar yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Sudjana dalam Mustafa (2005) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru yang mengakibatkan rendahnya citra guru disebabkan oleh faktor berikut: (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya. Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru, penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran yang masih berada di bawah standar, sebagai penyebab rendahnya mutu guru yang bermuara pada rendahnya citra guru.
Secara rinci dari aspek guru rendahnya mutu guru menurut Sudarminta dalam Mujiran (2005) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut: (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Sementara itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh faktor berikut: (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.

Memeperbaiki Citra Guru
Saat ini, apresiasi masyarakat semakin tinggi terhadap guru, Pemerintah semakin sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan guru, media massa semakin gencar memberitakan tentang kinerja guru. Dari segi kemampuan ekonomis, guru tidak lagi dipandang sekedar sebagai “pengamen”. “Diktator” menjual diktat baru bisa beli motor. Atau “Pelacur Profesi” - setelah jam dinas bergilir memenuhi panggilan dari pintu ke pintu, sekedar mencari agar dapur tetap “berasap”.
Kenyataan rendahnya kompetensi, etos kerja, dan kinerja guru, seperti dikemukakan oleh Fasli Djalal, Dirjen Diknas Peningkatan mutu Pendidik dan tenaga kependidikan menyebutkan hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. 75.648 di antaranya guru SMA. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional dan guru kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kwalitas pendidikan di Indonesia.
Pernyataan yang merujuk pada rendahnya kompetensi dan ethos kerja guru itu juga pernah diungkapkan oleh menteri pendidikan pada masa itu Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara ddi TPI tanggal 16 Agustus. Dalam wawancara itu Ia mengemukakan “hanya 43 % guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional untuk melaksanakan tugasnya. Pantaslah kalau kwalitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang berperan adalah meningkatkan profesional guru yang bercirikan: menguasai tugas, peran dan kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan menganut paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi dirinya sendiri melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School (NCS) sebagai berikut: (i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa; (iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000). Dengan demikian proses peningkatan mutu guru ditekankan pada proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri. (disadur dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar