WELLCOME

MAI TA CUA SAMADA ANGI, TA CUA MECI MENA ANGI, TAHOKURA MORI RA WOKO DI DUNIA MA SAMPE DI AHERA

Kamis, 18 November 2010

CITRA GURU INDONESIA; Antara Cita dan Realitas

CITRA GURU INDONESIA;
Antara Cita dan Realitas



Abstrak
Guru adalah komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, karena ia akan mengantarkan anak didik pada tujuan yang telah ditentukan, bersama komponen yang lain terkait dan lebih bersifat komplementatif. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di dalamnya. Tugas mendidik secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Citra guru terbentuk pada profesi yang melekat pada pribadi guru itu, bagaimana sikap keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Citra guru akan dinilai baik oelh masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atu teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat  terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya, serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Bagaimana idealnya citra guru, dan seperti apa pula realita citra guru saat ini adalah objek yang menjadi fokus tulisan ini dengan mengkomparasi kedua item tersebut diharapkan dapat menemukan benang merah, sebagai solusi untuk  meningkatkan dan mengangkat martabat guru sehingga kedepan guru mampu mengatarkan the children of today are the leaders of tomorrow.  
.
Citra Guru Indonesia
Slogan pahlawan tanpa tanda jasa senantiasa melekat pada profesi guru. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya yang begitu tinggi dan tulus dalam dunia pendidikan. Tidak hanya itu, sikap kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketulusan, kesopanan serta sebagai sosok panutan menjadikan profesi satu ini berbeda dengan yang lain. Lantaran tanggung jawab dari profesi guru tidak berhenti pada selesai ia mengajar, melainkan keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, mempraktekkan serta mengamalkan ilmu yang diterima dalam kehidupan sehari-hari baik langsung maupun tak langsung. Hal ini membuat citra seorang guru di mata masyarakat selalu berada di tempat yang lebih baik dan mulia.
Guru dalam kaitaannya dengan kelembagaan, sebagaimana yang dikemukakan Djamin (1999), bahwa citra guru mempunyai arti sebagai suatu penilaian yang baik dan terhormat terhadap keseluruhan penampilan yang merupakan sosok pengembang profesi ideal dalam lingkup fungsi, peran dan kinerja. Citra guru ini tercermin melalui keunggulan mengajar, memiliki hubungan yang harmonis dengan peserta didik, serta memiliki hubungan yang harmonis pula terhadap sesama teman seprofesi dan pihak lain baik dalam sikap maupun kemampuan profesional. Dari sudut pandang peserta didik, citra guru ideal adalah seseorang yang senantiasa memberi motivasi belajar yang mempunyai sifat-sifat keteladanan, penuh kasih sayang, serta mampu mengajar di dalam suasana yang menyenangkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa citra guru berkaitan erat dengan profesionalitas guru yang berhubungan dengan tugas dan kewajibannya sebagai diri pribadi, pendidik, dan hubungan sosial-kemasyarakatan.
Pola perilaku guru berhubungan dengan profesinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetjipto dan Raflis Kosasi (2007:43) adalah berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya yakni, sikap profesional keguruan terhadap: peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.

Potret Guru Masa Kini
Pemaknaan istilah guru dewasa ini nampaknya agak bergeser. Guru yang dahulunya figur sebagai panutan, sosok yang kharismatik dan dipandang sebagai manusia paripurna; tokoh yang dihormati dan dijujung tinggi setiap ucapan dan petuahnya bahkan dianggap berkah; larangannya adalah suatu kemestian yang harus dihindari dan dijauhi, kedudukan guru diibaratkan wakil Tuhan di bumi ini. Tetapi dewasa ini, guru dipandang sebagai orang yang bertugas untuk memberikan pengajaran/pelajaran kepada peserta didiknya dalam waktu tertentu dan dapat dinilai dengan materi. Tugas guru seakan dibatasi oleh ruang dan waktu ketika dia bertugas, sementara diluar itu adalah urusan pribadi. Peran guru hanya sebatas mengajar bukan mendidik. Tidak jarang guru hanya mengajari anak didiknya berperilaku baik sementara dirinya tidak demikian. Hubungan psikologis guru dan murid tidak terjalin dengan baik, seakan tidak ada tanggung jawab moral antara guru dan murid. Indikasi dari hal tersebut terlihat pada bentuk penghormatan murid pada guru nihil, contoh diluar kelas siswa acuh tak acuh (cuek saja) dengan gurunya, tatkala bersikap atau berbuat yang melanggar etika, misalnya merokok di depan umum (guru), minuman keras dan sejenisnya. Guru ketika di luar kelas dipandang sebelah mata oleh muridnya.
Sejalan dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.
Pada aspek lain yang semakin hangat diperbincangkan. Masyarakat sering mengeluh dan menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua mengikutsertakan putra-putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral para pelajar yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Sudjana dalam Mustafa (2005) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru yang mengakibatkan rendahnya citra guru disebabkan oleh faktor berikut: (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya. Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru, penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran yang masih berada di bawah standar, sebagai penyebab rendahnya mutu guru yang bermuara pada rendahnya citra guru.
Secara rinci dari aspek guru rendahnya mutu guru menurut Sudarminta dalam Mujiran (2005) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut: (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Sementara itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh faktor berikut: (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.

Memeperbaiki Citra Guru
Saat ini, apresiasi masyarakat semakin tinggi terhadap guru, Pemerintah semakin sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan guru, media massa semakin gencar memberitakan tentang kinerja guru. Dari segi kemampuan ekonomis, guru tidak lagi dipandang sekedar sebagai “pengamen”. “Diktator” menjual diktat baru bisa beli motor. Atau “Pelacur Profesi” - setelah jam dinas bergilir memenuhi panggilan dari pintu ke pintu, sekedar mencari agar dapur tetap “berasap”.
Kenyataan rendahnya kompetensi, etos kerja, dan kinerja guru, seperti dikemukakan oleh Fasli Djalal, Dirjen Diknas Peningkatan mutu Pendidik dan tenaga kependidikan menyebutkan hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. 75.648 di antaranya guru SMA. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional dan guru kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kwalitas pendidikan di Indonesia.
Pernyataan yang merujuk pada rendahnya kompetensi dan ethos kerja guru itu juga pernah diungkapkan oleh menteri pendidikan pada masa itu Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara ddi TPI tanggal 16 Agustus. Dalam wawancara itu Ia mengemukakan “hanya 43 % guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional untuk melaksanakan tugasnya. Pantaslah kalau kwalitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang berperan adalah meningkatkan profesional guru yang bercirikan: menguasai tugas, peran dan kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan menganut paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi dirinya sendiri melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School (NCS) sebagai berikut: (i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa; (iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000). Dengan demikian proses peningkatan mutu guru ditekankan pada proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri. (disadur dari berbagai sumber)

Senin, 01 November 2010

Peranan Pembelajaran Adab Akhlak Dalam Membentuk Akhlakul Karimah Siswa di MA Plus Abu Hurairah Mataram

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Konteks Penelitian
Pendidikan pada hakikatnya adalah pembentukan kepribadian manusia, memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu, pendidikan mestilah menyahuti pengembangan seluruh potensi manusia baik jasmani maupun rohani.
Pendidikan memiliki potensi untuk membentuk karakter pribadi seseorang. Karena pada dasarnya, perilaku seseorang merupakan produk dari akal pikiran(pengetahuan)-nya. Seseorang akan melakukan suatu perbuatan (amal, action) berdasarkan apa yang diketahuinya, atau paling tidak akan meniru-niru atau melakukan sesuatu yang menyerupai apa yang diperolehnya dengan inderanya. Dengan demikian, pendidikan dapat mencetak seseorang menjadi sholeh secara individu dan sholeh secara sosial, bersikap terbuka dan menerima keragaman realitas budaya, etnis, dan keragaman pemahaman agama. Disamping itu, pendidikan juga dapat mencetak pribadi-pribadi yang ekslusif –tertutup dan tidak menerima keragaman realitas, mengklaim kebenaran (truth claim) hanya pada apa yang dianutnya atau kelompoknya, sehingga tidak jarang konflik dan tindak kekerasan terjadi.
Faktor pendidikan dan pengajaran dalam pembentukan sikap keagamaan dan respons terhadap realitas keragaman, jelas sangat penting. Karena sebagai proses sosial, pendidikan dan pengajaran merupakan wahana bagi suatu agama untuk mentransmisikan ajaran-ajarannya.[1] Clark mengemukakan bahwa keterlibatan pendidikan dan pengajaran ini memiliki landasan yang jelas dengan hipotesis bahwa seseorang dapat menjadi agamis atau mengaktualisasikan potensi keagamaan yang hanif hanya dengan campur tangan pihak (aspek/faktor) lain.[2] Dengan konsep dasar sebagai proses alih nilai (transfer of values) dan alih pengetahuan (transfer of knowledge), pendidikan berperan menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan agama kepada pemeluknya. Nilai-nilai dan pengetahuan keagamaan ini kemudian berpadu membentuk sikap dan perilaku keagamaan. Dengan demikian, kalau dalam muatan dan proses pendidikan, agama diajarkan sebagai sesuatu yang ekslusif, maka output-nya adalah manusia yang bersikap ekslusif. Sebaliknya, kalau agama diajarkan sebagai sesuatu yang terbuka dan dengan cara yang demokratis, maka hasilnya adalah manusia yang terbuka dan bisa memahami keberadaan orang lain dengan keunikan-keunikan pribadi dan latar belakangnya. Dengan pendidikan yang demikian, wajar kalau terjadi kekacauan dalam masyarakat.[3]
Membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, adalah salah satu dari aspek tujuan pendidikan nasional yang tercantum di dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, pada Bab II, Pasal 3 yang menjelaskan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Sesungguhnya pendidikan budi pekerti atau akhlak –dalam konteks Indonesia– selama ini telah diterapkan lewat pendidikan agama. Pendidikan agama khususnya Islam, di sekolah-sekolah telah diberikan dalam beberapa aspek yakni, keimanan, ibadah, syari’ah, akhlak, Al-Qur’an, mu’amalah, dan tarikh. Akan tetapi, aktualisasi pendidikan agama di sekolah belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berbagai kejadian akhir-akhir ini, terutama setelah bangsa Indonesia dilanda oleh berbagai krisis, maka sesuatu hal yang aneh dan ganjil telah terjadi di kalangan sebagian anak bangsa. Berbagai peristiwa yang menunjukkan sikap yang tidak berlandaskan kepada akhlak mulia telah banyak menimpa anak bangsa. Kenyataan sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tentang timbul dan semakin merebaknya dekadensi moral masyarakat termasuk kalangan pelajar. Timbulnya tawuran antar-pelajar, semakin banyaknya keterlibatan remaja dalam pemakaian obat-obat terlarang, pembakaran, kekerasan, pembunuhan, penjarahan, pelanggaran hukum, pemerkosaan, korupsi, dan lain-lain merupakan indikasi dari kemerosotan moral.
Pembentukan manusia yang berakhlak mulia adalah melewati proses pembentukan kepribadian, yang tidak bisa tumbuh dengan tiba-tiba dan serta-merta. Di dalam proses pembentukan kepribadian itulah diperlukan strategi, wacana, metode yang tepat.
Menyoroti kurang optimalnya pendidikan agama sebagai sebuah proses pembentukkan akhlak, Daulay mengemukakan, bahwa:
“Di dalam pelaksanaan pendidikan akhlak pada saat pendidikan agama, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sehingga hasilnya belum optimal. Pertama, terlalu kognitif, pendekatan yang dilakukan terlalu berorientasi pengisian otak, memberitahu mana yang baik dan mana yang jelek, yang sepatutnya dilakukan dan yang tidak sepatutnya, dan seterusnya. Aspek afektif dan psikomotoriknya tidak tersinggung, kalaupun tersinggung sangat kecil sekali. Kedua, problema yang bersumber dari anak didik yang berdatangan dari latar belakang keluarga yang beraneka ragam, yang sebagiannya ada yang sudah tertata dengan baik akhlaknya di rumah tangganya masing-masing dan ada yang belum. Ketiga, terkesan bahwa tanggung jawab pendidikan agama tersebut beraada di pundak guru agama agama saja. Keempat, keterbatasan waktu, ketidakseimbangan antara waktu yang tersedia dengan bobot materi pendidikan agama yang sudah dirancangkan”.[4]
Berdasarkan survei awal peneliti,[5] bahwa di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram, terdapat bidang studi –Adab Akhlak– yang secara khusus concern terhadap pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak dalam desain Mata pelajaran Adab Akhlak (sepengetahuan peneliti) tidak diajarkan pada madrasah negeri/swasta ataupun pondok pesantren pada umunya.
Peneliti berasumsi, bahwa dekadensi moral yang menimpa siswa khususnya dapat diatasi dengan pendidikan akhlak dalam desain pembelajaran yang lebih terfokus pada suatu mata pelajaran khusus, yang kemudian penanaman nilai-nilai akhlak tersebut terintegrasi dalam segala dimensi kehidupan. Oleh karena itu, penelitian ini mengangkat tema: “Peranan Pembelajaran Adab Akhlak dalam Membentuk Akhlakul Karimah Siswa di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram”.
B.     Fokus Penelitian
Permasalahan pokok penelitian ini sebagaimana yang telah diuraikan dalam konteks penelitian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pelaksanaan pembelajaran Adab Akhlak pada siswa di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram?
2.      Bagaimana peranan pembelajaran Adab Akhlak dalam membentuk akhlakul karimah siswa di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram?
C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran Adab Akhlak dan bagaimana peranan pembelajaran Adab akhlak tersebut dalam membentuk akhlakul karimah siswa.
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Manfaat Teoritis
a.       Penelitian ini diharapkan mampu menampilkan dan merekonstruksi pembelajaran Adab Akhlak. Hasil dari temuan dan rekonstruksi ini ditujukan untuk mengenalkan pembelajaran Adab Akhlak di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram pada wacana pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang berlaku umum (konvensional).
b.      Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pendidikan agama Islam, khususnya yang terkait dengan pembelajaran Adab Akhlak, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi.
2.      Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pemikiran atau sekedar inspirator dan atau penetapan kebijakan dalam mengkaji lebih lanjut tentang masalah-masalah pendidikan, khususnya terkait dengan pembelajaran dan pembinaan akhlak, atau hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian ini.
D.    Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
1.      Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup kajian ini, akan meneliti dan menganalisis permasalahan sebagaimana yang tercakup dalam fokus penelitian di atas, yakni: pelaksanaan pembelajaran Adab Akhlak di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram; peranan pembelajaran Adab Akhlak dalam membentuk akhlakul karimah siswa di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram.
Untuk menghindari terjadinya penafsiran ganda terhadap peristilahan yang dipergunakan dalam skripsi ini, maka penulis akan memberikan beberapa penegasan istilah-istilah yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu:
a.       Pembelajaran Adab Akhlak
Pembelajaran terkait erat dengan konsep belajar. Para ahli mendefiniskan belajar dalam pengertian yang beragam. D. Sudjana, mendefinisikan belajar adalah suatu perubahan dalam disposisi atau kecaapan baru peserta didik karena adanya usaha yang dilakukan dengan sengaja dari pihak luar.[6] Menurut pandangan Behavioristik, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku dan cara seseorang berbuat dalam situasi tertentu.[7] Penggunaan istilah pembelajaran lebih mengacu pada upaya menempatkan peserta didik sebagai pihak yang aktif (student centred education) dalam perannya menjadi pembelajar.[8]
Adab diartikan sebagai kesusilaan, nilai tingkah laku.[9] Gabriel mengemukakan bahwa adab adalah istilah bahasa Arab yang artinya adat istiadat; ia menunjukan suatu kebiasaan, etika, pola perilaku yang ditiru dari orang-orang yang dianggap sebagai model.[10] Sedangkan akhlak adalah budi pekerti, tingkah laku, perangai.[11] Pembelajaran dilukiskan sebagai upaya guru yang tujuannya membantu siswa untuk belajar.
Yang dimaksud Pembelajaran Adab Akhlak dalam penelitian ini adalah serangkaian kegiatan yang diselenggarakan secara sistematis dan terstruktur melalui mata pelajaran Adab Akhlak yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran, yakni memiliki kepribadian yang luhur atau akhlakul karimah. Dengan demikian, penelitian ini menekankan upaya yang dilakukan oleh pendidik dalam membentuk akhlakul karimah siswa melalui rangkaian pembelajaran Adab Akhlak.
b.      Akhlakul Karimah
Akhlakul karimah berasal dari dua kata yakni akhlak dan karimah. akhlak berarti budi pekerti, tingkah laku, perangai, sedangkan karimah berarti kemuliaan, kedermawanan, murah hati, dermawan.[12] Selanjutnya Partanto dan Al Barry mendefinisikan akhlakul karimah sebagai akhlak mulia (agung/luhur).[13] Akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Maka dengan demikian, akhlakul karimah dalam penelitian ini adalah sikap positif yang melekat pada diri seseorang yang diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan yang merupakan manifestasi keimanan dan keislamannya.

2.      Setting Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram. Penetapan lokasi penelitian ini didasarkan pada ketertarikan peneliti pada keunikan objek yang dikaji, dan pertimbangan efektif dan efisiensi waktu, tenaga dan sumber daya peneliti, serta relevansi dan urgensi tema yang diteliti dengan konteks pendidikan dewasa ini.
Pertimbangan peneliti pada keunikan objek yang diteliti, yakni Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram merupakan salah satu dari realitas kemajemukan corak pemikiran pendidikan dan praktek keagamaan di Mataram, keberadaan mereka mengundang perhatian kontroversial dari banyak pihak. Di satu sisi, lembaga ini dituding memiliki corak pendidikan dan pemahaman keislaman yang konservatif-ekslusif akan tetapi di sisi lain, lembaga ini mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain baik lokal maupun di tingkat nasional. Hal ini merupakan satu daya tarik tersendiri bagi peneliti.
Penentuan lokasi dengan pertimbangan efektif dan efisiensi waktu, tenaga dan sumber daya peneliti didasarkan pada letak geografis Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah yang strategis tepat pada kompleks Kota Mataram memudahkan bagi peneliti untuk mengakses informasi. Pembelajaran Adab Akhlak yang merupakan bidang kajian yang diteliti adalah merupakan salah satu bidang kajian yang concern dan sesuai dengan program studi atau jurusan peneliti. Dengan demikian kekhawatiran akan tidak berjalannya penelitian ini bisa teratasi.
Alasan relevan dengan konteks kebutuhan pendidikan dewasa ini dikarenakan peneliti melihat, kebutuhan akan pembinaan akhlak dirasa amat urgen untuk menciptakan suasana aman, damai sejahtera lahir dan batin bagi kehidupan ini. Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram memuat mata pelajaran yang memiliki kekhasan tersendiri, salah satu di antaranya mata pelajaran Adab Akhlak yang menjadi fokus kajian peneliti.
E.     Telaah Pustaka
Telah pustaka merupakan salah satu cara penyadaran terhadap studi-studi atau karya terdahulu yang terkait, untuk menghindari duplikasi, plagiasi, replikasi, serta menjamin kaslian dan keabsahan penelitian yang dilakukan. Penelaahan pustaka dilakukan untuk menjelaskan posisi penelitian yang sedang dilaksanakan (state of affairs) di antara hasil-hasil penelitian dan/atau buku-buku terdahulu yang bertopik senada (prior research on the topic). Tujuannya adalah untuk menegaskan kebaruan, orisinalitas, dan urgensi penelitian bagi pengembangan keilmuan terkait.[14] Suatu karya ilmiah dipandang baik dan benar apabila hasil kajian atau penelitia tersebut relevan dengan apa yang terjadi atau berkembang dalam suatu wilayah. Dari pengertian tersebut, maka peneliti mengemukakan beberapa laporan penelitian terdahulu yang menjadi bahan pertimbangan untuk menegaskan kebaruan, orisinalitas dan urgensi penelitan ini dari penelitian sebelumnya.
Berkenaan dengan studi akhlak atau tema-tema senada dengan akhlak, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Di antaranya oleh Nor Ijati, dalam penelitiannya ia mengemukakan, bahwa pembinaan akhlak terhadap siswa SLTP Negeri 1 Gunungsari sudah berjalan dengan baik, karena dalam akhlak terhadap siswa oleh dewan guru terutama sekali guru pendidikan agama Islam telah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pembinanaan akhlak terhadap siswa agar dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.[15]
Muhammad Muharror, meneliti tentang pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di SMA 1 Kediri Lombok Barat. Muharror memfokuskan penelitiannya pada: pelaksanaan Pendidikan Agama Islam; upaya sekolah dalam membina moral dan akhlak siswa; problem pembinaan moral dan akhlak siswa dan solusi penyelesaian masalah. Dari penelitian yang dilaksanakan di kelas X SMA 1 Kediri Lombok Barat tersebut, Muharror menyimpulkan, bahwa pelaksanaan Pendidikan Agama Islam melalui dua jalur, yakni intra kurikuler yang terstruktur dengan kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), diantara muatan materi Pendidikan Agama Islam yaitu keimanan, ibadah, membaca al-Qur’an serta maknanya, akhlak, mu’amalah, dan syari’ah. Kegiatan ekstra kurikuler, Pendidikan Agama Islam diselenggarakan dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti praktik keagamaan, program imtaq, tadabbur dan tafakur alam, seminar atau kampanye bahaya narkoba, olahraga dan perlombaan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan upaya sekolah dalam menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam guna membina moral dan akhlak siswa di sekolah tersebut.[16]
Siti Masitah, meneliti tentang penerapan pembelajaran Aqidah Akhlak terhadap pembinaan kepribadian siswa. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di kelas VIII di MTs An-Najah Sesela Gunungsari Lombok Barat, Masitah menyimpulkan bahwa pembelajaran Aqidah Akhlak di sekolah tersebut terlaksana dengan baik dan mencapendidikan agama Islam target ketentuan kurikulum. Hal ini disebabkan karena materi-materi pelajaran sesuai dengan ketentuan kurikulum, dan metode dalam proses pembelajaran sesuai dengan materi yang diberikan. Respon siswa terhadap pembelajaran aqidah akhlak sebagai media pembinaan akhlak siswa memiliki pengaruh bagi para siswa-siswi madrasah tersebut dalam menentukan sikap dan perilaku mereka sesuai dengan ajaran agama.[17]
Penelitian terkait dengan akhlak dilakukan juga oleh Ni’mah Khalid, dengan fokus penelitian, pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam membina akhlak siswa, upaya-upaya guru Pendidikan Agama Islam dalam membina akhlak siswa, dan deskripsi akhlak siswa-siswi di SMPN 15 Mataram. Ni’mah menyimpulkan bahwa: pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam mengikuti kurikulum KTSP, dengan kurikulum tersebut, siswa lebih berperan aktif dalam Pendidikan Agama Islam; suasana pembelajaran dan pembinaan akhlak berjalan dengan baik dan tertib yang dilaksanakan di dalam dan luar kelas. Upaya Pendidikan Agama Islam di SMPN 15 Mataram dilaksanakan di dalam dan di liar kelas (intra dan ekstra kurikuler). Di dalam kelas Pendidikan Agama Islam di laksanakan dengan pemberian materi, pemberian tugas, praktik dan evaluasi. Di luar kelas Pendidikan Agama Islam melalui program IMTAQ, Pesantren Kilat, dan Perayaan Hari Besar Islam. Kegiatan tersebut dilakukan mengingat peran penting Pendidikan Agama Islam dalam pembinaan akhlak siswa terutama usia remaja. Mengenai akhlak siswa SMPN 15 Mataram, Ni’mah mengemukakan, secara umum akhlak siswa terhadap teman, maupun guru baik.[18]
Siti Hajar, dengan fokus penetian pada proses pelaksanaan pembelajaran Aqidah Akhlak dan dampaknya terhadap moralitas siswa. Penelitian yang dilakukan pada kelas X MAN 1 Mataram Tahun Pelajaran 2008/2009, ia mengemukakan bahwa pembelajaran akidah akhlak di MAN 1 Mataram cukup baik dan mendapatkan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh dari pihak sekolah, dengan indikator pemahaman, norma, sikap atau perilaku anak didik cukup baik. Berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh guru bidang studi akidah akhlak dimulai dari mempersiapkan materi, menentukan strategi pembelajaran sampendidikan agama Islam dengan evaluasi pembelajaran dan pembinaan keagamaan yang telah dilakukan, telah mampu memberikan dampak positif terhadap perkembangan moralitas siswa. Meskipun terbatasnya ketersediaan waktu pembelajaran menjadi hambatan dalam pembentukan moralitas siswa, guru selalu berupaya memberikan tambahan program imtaq pada pagi hari jum’at untuk mengimbangi pembelajaran aqidah akhlak.[19]
Berikutnya, Hamdan, dengan fokus penelitian yang hampir senada dengan Siti Hajar, yakni, pelaksanaan pembinaan kepribadian siswa melalui pembelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Aliyah Bayyinul Ulum Santong Lombok Utara, faktor-faktor yang menunjang dalam membina kepribadian siswa melalui mata pelajaran Aqidah Akhlak, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam membina kepribadian siswa. Hamdan menyimpulkan, bahwa pelaksanaan pembinaan kepribadian siswa melalui mata pelajaran Akidah Akhlak berjalan dengan lancar sesuai dengan kurikulum, namun perlu peningkatan melalui pendidikan formal dan informal serta membangun kerja sama dengan orang tua siswa. Dalam pelaksanaan pembinaan kepribadian siswa di madrasah tersebut ada beberapa faktor penunjang, yakni: lingkungan keluarga –yang pada dasarnya pendidikan pertama dan utama berlangsung dalam lingkungan keluarga); lingkungan sekolah (sebagai pendidikan formal merupakan seperangkat masyarakat yang diserahi kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan pendidikan); lingkungan masyarakat (baik buruknya lingkungan masyarakat menentukan kepribadian masyarakat). Di samping hal tersebut di atas, ada juga beberapa faktor penghambat, yakni: kekurangan buku pegangan, akan tetapi masih bisa ditolerir karena siswa membeli buku referensi secara berkelompok; sementara alokasi waktu yang singkat merupakan hambatan yang paling signifikan.[20]
Uril Ihsan, “Pembelajaran Akidah Akhlak sebagai Upaya Pembentukan Jiwa Beragama Siswa di MTsN 1 Mataram.” Dalam skripsi ini Ihsan mengkaji tentang pelaksanaan pembelajaran Akidah-Akhlak yang dilaksanakan dengan berbagai metode, dan pendekatan, seperti pendekatan pembisaan, keteladanan, kegiatan pembinaan baik di dalam maupun di luar kelas. Sehingga dengan demikian, pembelajaran Akidah-Akhlak mampu memberikan warna yang positif bagi perkembangan kondisi jiwa beragama siswa di MTsN 1 Mataram.[21]
Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, secara substasif, memiliki kemiripan, yakni mendekripsikan pelaksanaan pendidikan moral, sikap, tingkah laku, atau akhlak islami baik melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam maupun mata pelajaran Akidah Akhlak yang diwujudkan dalam pembelajaran di dalam maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler), akan tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan pembelajaran Adab Akhlak; materi, strategi, metode pembelajaran, bagaimana penanaman akhlak melalui mata pelajaran Adab Akhlak belum tersentuh oleh peneliti-peneliti sebelumnya, khusunya yang dilaksanakan di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram. Disamping itu mata pelajaran Adab Akhlak merupakan satu di antara mata pelajaran –tidak berlebihan jika dikatakan hanya diajarkan di Ponpes Abu Hurairah dalam hal ini Madrasah Aliyah Plus– yang tidak tidak diajarkan secara khusus pada sekolah umum atau madarasah lain. Dengan demikian, menjadi sebuah penegasan akan keaslian, kebaruan, dan kekhasan penelitian ini.
F.     Kerangka Teoretik
1.      Konsep Pembelajaran
D. Sudjana, mendefinisikan belajar adalah suatu perubahan dalam disposisi atau kecakapan baru peserta didik karena adanya usaha yang dilakukan dengan sengaja dari pihak luar.[22] Menurut pandangan Behavioristik, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku dan cara seseorang berbuat dalam situasi tertentu.[23] Penggunaan istilah pembelajaran lebih mengacu pada upaya menempatkan peserta didik sebagai pihak yang aktif (student centred education) dalam perannya menjadi pembelajar.[24]
Bagne dalam bukunya Margaret E. Bell Bliedier Belajar Membelajarkan pada halaman 205 mengungkapkan bahwa “Pembelajaran diartikan sebagai acara dari peristiwa ekternal yang dirancang oleh guru guna mendukung terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan siswa.” [25] Dengan demikian, kegiatan pembelajaran dilukiskan sebagai upaya guru yang tujuannya membantu siswa untuk belajar. Kegiatan pembelajaran lebih menekankan kepada semua peristiwa yang dapat berpengaruh secara langsung kepada efektifitas belajar siswa; dengan kata lain pembelajaran adalah upaya guru agar terjadi peristiwa belajar yang dilakukan oleh siswa.[26]
Proses pembelajaran senantiasa dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
a.       Kompetensi dasar, meliputi bukan hanya domain kognitif saja melainkan juga omain afektif, dan psikomotorik, yang ingin dicapai adalah hasil belajar yaitu perubahan pada diri anak, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bersikap menjadi dapat menilai atau dapat membedakan, dari tidak dapat melakukan menjadi dapat mempraktikkan dan dapat mengerjakannya.
b.      Materi/bahan ajar, yaitu terstruktur dalam kajian rumpun mata pelajaran, baik meliputi ruang lingkup sekuensial maupun tingkat kesulitannya.
c.       Sumber belajar, untuk menjadikan peristiwa pembelajaran yang kontekstual artinya yang relevan, terpilih dan tepat guna sesuai dengan encapaian kompetensi dasar yang ditetapkan.
d.      Media dan fasilitas belajar, termasuk ruang kelas dan penciptaan lingkungan kondusif yang menjadikan peristiwa belajar menjadi dinamis dan menyenangkan. Di sini perlunya dipertimbangkan jumlah siswa, alokasi waktu dan tersedianya alat peraga dan pemilihan metode yang akan dipergunakan.
e.       Siswa yang belajar, perlu diperhatikan kemampuan, usia perkembangan, latar belakang, motivasi dan kebutuhan siswa.
f.       Guru yang mengelola pembelajaran, yaitu dilihat dari kompetensinya dalam teknikmengajar kebiasaannya, pandangan hidup, latar belakang pendidikan, dan kerja sama dengan teman sejawat sesama guru.[27]
Gambar 1. Kegiatan Pembelajaran[28]








Kegiatan pembejaran adalah satu usaha yang bersifat sadar tujuan, yang dengan sistematik terarah pada perubahan tingkah laku. Perubahan yang dimaksud menunjuk pada suatu proses yang harus dilalui. Tanpa proses perubahan, tidak mungkin terjadi dan tujuan tak dapat dicapai.[29] Proses yang dimaksud di sini adalah kegiatan pembelajaran sebagai proses interaksi edukatif.
Gambar 2. Kegiatan Pembelajaran[30]










Dalam kegiatan pembelajaran guru harus dapat menciptakan situasi kondusif. Guru harus menciptakan situasi dan interaksi edukatif, dengan tidak memakai pendekatan searah yang hanya datang dari guru. Tidak cukup bagi seorang guru untuk hanya memperhatikan bahan atau materi yang akan diajarkan; juga tidak cukup bagi seorang guru untuk hanya mengutamakan teknik dan klasifikasi interaksi. Tidak banyak gunanya mengetahui sebuah ciri-ciri sebuah metode diskusi yang baik, atau teknik sosiodrama, atau syarat-syarat ceramah, apabila dia tidak mengetahui apa yang yang akan diajarkan. Diskusi dilaukan bukan untuk sekedar berdiskusi, begitu pula sosiodrama –ceramah dan lain-lain teknik interaksi. Diskusi diadakan untuk membahas suatu persoalan, suatu bahan pelajaran. Begitulah seterusnya, kita pada akhirnya dapat sampai pada beberapa ciri interaksi edukatif.
Di dalam kegiatan pembelajaran diperlukan komunikasi yang tepat, kompetensi dasar yang ditetapkan dapat dijadikan acuan kegiatan belajar siswa itu secara efektif. Dalam interaksi dan komunikasi itu diperlukan adanya jalinan simpati antara guru dan siswa. Guru dapat menciptakan berbagai ragam pengalaman. Guru dapat memberikan tugas atau mendiskusikan sesuatu. Siswa dapat membuat percobaan, dapat mendemonstrasikan sesuatu proses, dan lain-lain.
Dalam menciptakan situasi agar kegiatan pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien guru perlu mempertimbangkan secara strategis agar dapat diwujudkan situasi kondusif yang memungkinkan proses interaksi berlangsung dengan baik. Dalam situasi demikian senantiasa perlu diupayakan agar:
a.       Siswa senantiasa menaruh minat dan perhatian
b.      Siswa turut serta aktif dalam pengalaman belajar
c.       Guru memberikan pengalaman yang terpadu dalam proses belajar
d.      Timbulnya dorongan yang positif pada diri siswa untuk belajar.[31]
Pengalaman belajar dengan mempergunakan sebanyak mungkin alat indera dapat digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 3. Kerucut Pengalaman Belajar[32]

yang kita ingat:
Modus
Verbal
10-20%
Dengar

30%
Lihat
Visual
50%
Lihat dan dengar

70%
Katakan

90%
Katakan dan lakukan
Berbuat

Kita belajar 20 % dari apa yang kita dengar, 30 % dari apa yang kita lihat, 50 % dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 % dari apa yang kita katakan, dan 90 % dari apa yang kita katakan dan lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jika kita mengajar dengan banyak ceramah, maka siswa akan mengingat hanya 20 % karena siswa hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika guru meminta siswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkannya, maka mereka akan mengingat sebanyak 90%. Oleh karena itu, Shaleh, menekankan agar:
Dalam proses pembelajaran, siswa harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya sehingga mampu membangun pengetahuan (learning to know) dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup”.[33]

2.      Paradigma Pembelajaran Akhlak
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, sikap hidup religius itu berimplikasi pula kepada perilaku akhlak dan budi pekerti. Di samping itu, tradisi dan kultur bangsa Indonesia juga memengaruhi etika dan moral bangsa. Dari Landasan hidup beragama serta sosial budaya bangsa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sangat mengedepankan kehidupan sopan santun, tata karma, dan berbudi luhur.
Pendidikan agama di Indonesia baru dilaksanakan di sekolah-sekolah negeri, setelah Indonesia merdeka yakni setelah adanya usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) pada tahun 1946.[34] Pendidikan agama di sekolah bermuatan keimanan, ibadah, Al-Qur’an, akhlak, syari’ah, mu’amalah, dan tarikh. Di dalam materi tersebut, yang terkait langsung dengan budi pekerti adalah akhlak. Dengan Demikian secara eksplisit pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah dilaksanakan pada saat seorang guru agama lewat pokok bahasan, materi akhlak, dan secara tidak langsung pendidikan akhlak diberikan pada muatan materi pokok bahasn lainnya. Seperti keimanan, ibadah, Al-Qur’an, syari’ah, mu’amalah, dan tarikh. Di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) pendidikan akhlak, mendapatkan perhatian lebih, yakni diberikan dan diajarkan dalam mata pelajaran tersendiri, mata pelajaran aqidah akhlak.
Dalam pelaksanaan pendidikan akhlak, ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian sehingga hasilnya optimal, yakni: aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Daulay mengemukakan:
“Ada tiga ranah popular di kalangan dunia pendidikan yang menjadi lepangan garapan pembentukan kepribadian peserta didik. Pertama, kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akal menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan kepada kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan action, perbuatan, perilaku. Apabila disingkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.”[35]

Esensi dari pendidikan budi pekerti itu adalah pembentukan sikap dan kepribadian. Oleh karena itu, orientasi pokoknya adalah internalisasi nilai. Oleh karena itu, dituntut untuk melaksanakan pendidikan berkelanjutan, integrated, budaya pendidikan.[36]
Pendidikan berkelanjutan yaitu adanya hubungan yang berkesinambungan antara pendidikan di kelas (sekolah), di luar kelas, (rumah tangga dan masyarakat).[37] Pendidikan itegrited adalah nilai-nilai budi pekerti yang ada di berbagai mata pelajaran dimunculkan oleh guru ketika mengajar, terutama di dalam mata pelajaran pendidikan agama, pancasila, PPKn.[38]
Selanjutnya pembentukan budaya pendidikan, yang dimaknai dengan pembentukan iklim sekolah yang kondusif bagi pengembangan pendidikan budi pekerti.[39] Beberapa hal yang terkait dengan ini adalah:
Pertama, pimpinan sekolah yang proaktif dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk pembentukan lingkungan sekolah yang adaptif bagi pengembangan pendidikan budi pekerti, tidak hanya guru agama saja. Kedua, guru, semua guru adalah pendidik budi pekerti, tidak hanya guru agama saja. Tenaga administratif, sarana, dan fasilitas dipersiapkan yang menunjang bagi terwujudnya pendidikan budi pekerti. Dengan Demikian diharapkan sekolah menjadi laboratorium budi pekerti.[40]

Dalam rangka penerapan pendidikan budi pekerti, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
a.       Kurikulum
Departemen pendidikan nasional telah merancangkan bahwa pendidikan budi pekerti ini dilaksanakan dengan cara integratif.[41] Artinya bahwa setiap suatu keseluruhan tersebut memiliki makna, arti, dan faedah tertentu. Keseluruhan tersebut bukanlah penjumlahan dari beri berbagai bagian, melainkan suatu totalitas yang memiliki makna tersendiri. Mata pelajaran dan atau bidang studi hanyalah sebagian faktor yang mempengaruhi perkembangan anak.[42]
b.      Pendidik
Pendidik adalah faktor pendidikan yang amat penting. Di tangan pendidik yang baik, sarana dan fasilitas pendidikan yang kurang tertutupi, kelas yang kaku dan statis, akan hidup dan bergairah. Karena itulah fungsi pendidik sangat strategis. Oleh karena itu, pendidik terlebih dahulu memiliki bekal: pengorganisasian bahan ajar, metode pengajaran, evaluasi, teladan, menggunakan media pengajaran, sumber bahan pelajaran.[43]
c.       Lingkungan Pendidikan
Sekolah mesti memiliki keberanian untuk mengubah kultur dan budaya persekolahan yang tidak terkesan kondusif bagi pengembangan lingkungan sekolah yang berwawasan budi pekerti ke arah membangun tatanan dan iklim sosial budaya dunia persekolahan yang berwawasan dan memancarkan akhlak mulai sehingga lingkungan dan budaya sekolah menjadi teladan atau model pendidikan budi pekerti.[44]




3.      Konsep Akhlakul Karimah
a.      Pengertian Akhlak
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.[45] Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab jamak dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[46]
Secara terminologi, beberapa pakar mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut:
1).    Ibn Miskawaih mengemukakan, bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.[47]
2).    Imam Al-Ghazali mengemukakan, akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.[48]
3).    Ahmad Amin mengemukakan, sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.[49]
Jika diperhatikan dengan saksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
Di samping akhlak, dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu.[50] Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.
b.      Dasar dan Tujuan Akhlak
Akhlak adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertititk tolak dari aqidah yang diwahyukan Allah kepada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya. Akhlak Islam, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari pada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok daripada akhlak adalah al-Qur'an dan al-Hadits (as-Sunnah) yang merupakan sumber utama dari agama itu sendiri.[51] Kedudukan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber akhlak ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya QS. Al-Ahzab (33): 21 berikut.
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.[52]
Di dalam QS. Al-Qalam (68): 4, Allah swt. berfirman.
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ  
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.[53]
Firman Allah tersebut di atas kemudian dipertegas oleh Rasulullah Saw., melalui sabdanya.
É-Ÿxøzo ò{ oL É%o3oH oMÉgKo?à É{ ãMøVÉèã/%oJ®RÉ)
Artinya: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Dalam hadits lain, yang diiwayatkan dari Anas bin Malik r.a., bahwa Nabi Saw. bersabda.
«!# |>%rFÉ2 #ºq/r# @ÍÒqF'^q9 %qKÍgÍ/ 'MK'6o¡oKo? PcÍ)%nB Ë`'ƒo 'H r& OMç3OŠÁÉù çMO.ss?
ÍL§Z⟠qr
Artinya: “Telah ku tinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasulnya.”[54]
Dari firman Allah dan sabda rasul di atas, memberikan ilustrasi bahwa untuk mencapai kebahagiaan hanya dengan jalan menaati Allah (taqwa ‘alallah) yakni dengan mengerjakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup bagi setiap muslim yakni al-Qur'an dan al-Hadits. Tidak diragukan lagi bahwa segala perbuatan atau tindakan manusia apapun bentuknya pada hakekatnya adalah bermaksud mencapai kebahagiaan. Dalam Islam kebahagiaan, derajat yang tinggi yang ditempuh oleh manusia terletak pada akhlaknya. Dengan demikian, tujuan dari akhlak adalah hendak menciptakan manusia agar menjadikan makhluk yang tinggi dan sempurna akhlaknya serta membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
c.       Macam-Macam Akhlak
Akhlak terdiri atas dua macam, yaitu akhlakul mahmudah dan akhlakul mazmumah.
1).    Akhlak Mulia (Akhlakul Karimah atau Mahmudah)
Akhlak al-karimah atau akhlak mulia jumlahnya amat banyak, namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, akhlak mulia itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a).    Akhlak Terhadap Allah.
Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian Agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan menjangkau hakekatnya. Akhlak terhadap Allah dapat diwujudkan, dengan hal-hal sebagai berikut.
(1). Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.
(2). Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
(3). Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
(4). Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
(5). Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.[55]
b).    Akhlak terhadap sesama manusia.
Manusia adalah makhluk sosial yang kelanjutan eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain, untuk itu, ia perlu bekerjasama dan saling tolong-menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan bagaimana manusia menjalin hubungan dengan sesama manusia; akhlak kepada ibu bapak, saudara, keluarga, dan juga berlaku baik pada diri sendiri.
Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain: menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, mentaati perintah, meringankan beban, serta menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha.[56]
Islam menganjurkan berakhlak yang baik kepada saudara, Karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasaan kita, dan merupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya, memberikan bantuan, pertolongan dan menghargainya.[57]
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkann kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komuniksai.[58]
Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin,keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di antara mereka.
Akhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati, menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebgai ciptaan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Contohnya: Menghindari minuman yang beralkohol, menjaga kesucian jiwa, hidup sederhana, serta jujur dan hindarkan perbuatan yang tercela.
c).    Akhlak kepada lingkungan
Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup.[59] Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas mamakmurkan, mengelola dan melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.

2).    Akhlak Tercela (Al-Mazmumah)
Akhlak al-mazmumah (akhlak yang tercela) adalah sebagai lawan atau kebalikan dari akhlak yang baik seagaimana tersebut di atas. Dalam ajaran Islam tetap membicarakan secara terperinci dengan tujuan agar dapat dipahami dengan benar, dan dapat diketahui cara-cara menjauhinya. Berdasarkan petunjuk ajaran Islam dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, di antaranya: berbohong, takabur (sombong), dengki, bakhil atau kikir.[60]
Berdasarkan uraian di atas, akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.
Akhlak Islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit sosial dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[61] Dengan demikian akhlak Islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak Islami berbicara pula tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing masing makhluk merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.
Sehubungan dengan akhlak Islami, Sahilun A. Nasir menyebutkan bahwa akhlak Islami berkisar pada:
a.       Tujuan hidup setiap Muslim, ialah menghambakan dirinya kepada Allah untuk mencapai keridhaan-Nya, hidup sejahtera lahir dan batin, dalam kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.
b.      Dengan keyakinannya terhadap kebenaran wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya, membawa konsekwensi logis, sebagai standar dan pedoman utama bagi setiap moral muslim. Ia memberi sangsi terhadap moral dalam kecintaan dan kekuatannya kepada Allah swt. tanpa perasaan adanya tekanan-tekanan dari luar.
c.       Keyakinannya akan hari kemudian/pembalasan, mendorong manusia berbuat baik dan berusaha menjadi manusia sebaik mungkin, dengan segala pengabdiannya kepada Allah.
d.      Islam bukan moral yang baru yang bertentangan dengan ajaran jiwa Islam, berasaskan dari al-Qur’an dan al-Hadits, diinterpretasikan oleh para ulama mujtahid.
e.       Ajaran akhlak Islam meliputi segala segi hidup dan kehidupan manusia berdasarkan asas kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Islam tidak hanya mengajarkan tetapi menegakannya, dengan janji dan sangsi Ilahi yang maha adil. Tuntunan moral sesuai dengan bisikan hati nurani, yang menurut kodratnya cenderung kepada kebaikan dan benci pada keburukan.[62]

G.    Metode Penelitian
1.      Pendekatan Penelitian
Setiap penelitian harus direncanakan dengan baik. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan penelitian, karena pendekatan penelitian merupakan rencana tentang bagaimana mengumpulkan dan menganalisa data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan ini penulis gunakan karena mengingat data yang diperoleh berupa kata-kata atau kalimat dan hasil pengamatan yang peneliti lakukan selama pelaksanaan penelitian.
Pendekatan kualitatif bersifat deskriptif yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang diperoleh meliputi transkrip, interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan lain-lain.[63]
2.      Kehadiran Peneliti
Peneliti sebagai orang yang melakukan observasi mengamati dengan cermat terhadap obyek penelitian. Untuk memperoleh data tentang penelitian ini, maka peneliti terjun langsung ke lapangan. Kehadiran peneliti dalam penelitian ini berperan sebagai instrumen kunci yang berperan sebagai pengamat non partisipan, di mana peneliti turun ke lapangan tidak melibatkan diri secara langsung dalam kehidupan obyek penelitian.
Sesuai dengan ciri pendekatan kualitatif salah satunya sebagai instrumen kunci,[64] dengan itu peneliti di lapangan sangat mutlak hadir atau terjun langsung dalam melakukan penelitian. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam mengumpulkan data peneliti berusaha menciptakan hubungan yang baik dengan informan yang menjadi sumber data agar data-data yang diperoleh betul-betul valid.
Dalam pelaksanaan penelitian ini peneliti akan hadir di lapangan sejak diizinkannya melakukan penelitian, yaitu dengan cara mendatangi lokasi penelitian pada waktu-waktu tertentu, baik terjadwal maupun tidak terjadwal.
3.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian merupakan salah satu bagian penting dalam penelitian. Pentingnya data untuk memenuhi dan membantu serangkaian permasalahan yang terkait dengan fokus penelitian. Yang dimaksud dengan sumber data adalah di mana data diperoleh.[65]
Untuk mendapatkan data-data tersebut peneliti memerlukan beberapa sumber data yang mengetahui betul permasalahan yang akan diteliti, yaitu:
a.       Kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah;
b.      Guru bidang studi Adab Akhlak
c.       guru BK
d.      Siswa atau santri Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram.
Adapun sumber data dalam penelitian ini dipilih secara purpossive. Yang dimaksud dengan purpossive sampling adalah penentuan sampel dengan cara mengambil atau menentukan informan bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi atas dasar adanya tujuan tertentu.[66]
4.      Instrumen Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini ada dua yakni data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini, yakni data yang berkaitan dengan pelaksanaan proses pembelajaran Adab Akhlak dan akhlak siswa/santri. Sedangkan data sekunder penelitian ini data yang memberikan informasi tambahan berupa gambaran umum madrasah.
Untuk memperoleh data-data tersebut peneliti, menggunakan alat bantu (instrument) pengumpulan data berupa pedoman observasi, pedoman wawancara. Pedoman observasi, dan pedoman wawancara digunakan peneliti sebagai acuan peneliti untuk memperolah data-data primer (proses pembelajaran dan akhlak siswa) dan data sekunder yang meliputi letak geografis, organisasi dan kelembagaan, sarana dan prasarana, lingkungan dan budaya sekolah. Adapun draft pedoman observasi, dan pedoman wawancara terlampir.
5.      Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut:
a.       Metode Observasi
Metode observasi atau disebut dengan pengamatan adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap suat obyek dengan menggunakan seluruh panca indra.[67] Sedangkan Achmadi berpendapat bahwa, observasi atau pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.[68]
Metode observasi digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data-data primer dan juga data-data sekunder. Dalam hal ini peneliti mengadakan observasi langsung yaitu mengadakan MAP Abu Hurairah Islamic Mataram untuk mengamati proses pembelajaaran adab akhlak, keadaan (akhlak) siswa, keadaan guru-guru, dan fasilitas madrasah.
Dalam melakukan observasi peneliti akan menggunakan alat panca indera. Teknik observasi yang digunakan peneliti adalah teknik non partisipan. Di mana peneliti tidak terlibat langsung dalam kehidupan obyek penelitian, tetapi mengamati dan mencari data terhadap obyek penelitian dan tidak meleburkan dalam arti yang sesungguhnya.
b.      Metode Interview
Interview atau wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan di mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.[69] Jadi, metode wawancara ini merupakan suatu metode yang mencakup cara yang dipergunakan oleh seseorang dengan tujuan suatu tugas tertentu untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan.
Dalam proses wawancara peneliti akan menggunakan wawancara terstruktur, seperti yang diungkapkan Sukardi,[70] dan Moleong,[71] di mana peneliti ketika melaksanakan tatap muka dengan responden menggunakan pedoman wawancara yang telah disediakan lebih dahulu.
Teknik wawancara difokuskan peneliti untuk menggali dan memperoleh data-data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan kepala sekolah, dan juga guru-guru bidang studi Adab Akhlak, guru BK dan beberapa orang siswa/santri yang memungkinkan dapat memberikan informasi yang valid terkait pembelajaran Adab Akhlak dan akhak santri. Disamping untuk memperoleh data primer, teknik ini digunkan pula untuk memperoleh data-data sekunder.
c.       Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan atau transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen atau rapat dan sebagainya.[72] Metode dokumentasi peneliti gunakan untuk mengumpulkan data sekunder; data tertulis yang memberikan keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti yakni mengenai data lokasi penelitian, data keadaan.
6.      Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diimformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.[73]
Analisis data perlu dilakukan secara terus menerus selama penelitian berlangsung data dimasukkan ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema.[74]
Proses analisis yang digunakan mengukuti model Spradley dengan sistematika sebagai berikut: (1) diawali dengan analisis domain, kemudian (2) analisis taksonomi, selanjutnya (3) analisis komponensial, dan terakhir (4) analisis tema.[75]
Analisis domain (domain analysis) pada hakikatnya adalah upaya peneliti untuk memperoleh gambaran umum tentang data untuk menjawab fokus penelitian.[76] Untuk itu, peneliti membaca naskah data secara umum dan menyeluruh untuk memperoleh domain atau ranah apa saja yang ada di dalam data tersebut.
Analisis taksonomi (taxonomy analysis). Pada tahap ini, peneliti berupaya memahami domain-domain tertentu sesuai fokus penelitian. Masing-masing domain mulai dipahami secara mendalam, dan membaginya lagi menjadi sub-domain, dan dari sub-domain itu dirinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus lagi hingga tidak ada lagi yang tersisa (exhausted).
Tahap selanjutnya, analisis komponensial (componential analysis). Peneliti mencoba mengkontraskan antar unsur dalam ranah yang diperoleh. Unsur-unsur yang kontras dipilah-pilah dan selanjutnya dibuat kategorisasi yang relevan.
Terakhir, analisis tema kultural (discovering cultural themes) adalah analisis dengan memahami gejala-gejala yang khas dari analisis sebelumnya.[77] Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti adalah: (1) membaca secara cermat keseluruhan catatan penting, (2) memberikan kode pada topik-topik penting, (3) menyusun tipologi, (4) membaca pustaka yang terkait dengan masalah dan konteks penelitian.
7.      Keabsahan Data dan Temuan
Adapun maksud dan tujuan dari keabsahan data dan temuan ini adalah untuk mengecek apakah laporan atau temuan yang diperoleh dalam penelitian tersebut betul-betul sesuai dengan data.
Menurut Moleong teknik pengecekan data dan keabsahan data temuan adalah sebagai berikut:
a.       Perpanjangan keikutsertaan
b.      Ketekunan Pengamatan
c.       Triangulasi
d.      Pemeriksaan sejawat
e.       Kecukupan Referensial
f.       Pengecekan Anggota
g.      Kajian Kasus Negatif.[78]

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengecekan dan keabsahan data, yaitu:
a.       Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudiaan memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Ketekunan pengamatan ini menyediakan kedalaman. Hal ini berarti bahwa peneliti hendaknya mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol. Kemudian menelaahnya secara rinci sampai pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah dipahami dengan cara yang biasa. Untuk keperluan itu tekhnik ini menuntut agar peneliti mampu menguraikan secara rinci bagaimana proses penemuan secara tentative (bersifat sementara) dan penelaahan secara rinci tersebut dapat dilakukan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengamati dengan cermat keadaan di lapangan guna mendapatkan data yang valid. Untuk itu peneliti tidak hanya melakukan pengamatan sekali saja, tetapi mengamati suatu kejadian atau obyek tersebut berulang kali. Adapun langkah yang di tempuh oleh peneliti kaitannya dengan ketekunan pengamatan adalah:
1).    Sering bertemu dengan informan (kepala sekolah, wakasek, dan guru bidang studi serta siswa/santri Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram
2).    Mermusatkan perhatian terhadap masalah yang dicari datanya
3).    Melakukan pemeriksaan secara teliti data yang telah diperoleh dari hasil pengamatan.
b.      Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Jadi, dengan menggunakan triangulasi, peneliti dapat mengecek keabsahan data hasil temuan dengan menggunakan hal-hal lain di luar data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk membandingkan data yang telah ada. Dengan demikian, dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan antara teori yang ada dalam buku referensi dengan kondisi nyata di lapangan tentang koperasi sekolah. Selain itu juga peneliti membandingkan hasil wawancara dengan hasil observasi tentang pelaksanaan pembelajaran Adab Akhlak serta peranannya dalam pembentukan akhlakul karimah siswa.
H.    Sistematika
Sistematika penulisan skripsi ini ditulis berdasarkan pedoman penulisan skripsi  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Skripsi ini terdiri dari empat (4) bab. Bab I, pendahuluan, meliputi uraian tentang konteks penelitian, fokus kajian, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup dan setting penelitian, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Paparan data dan temuan penelitian diuraikan pada Bab II. Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian dan pelaksanaan pembelajaran Adab Akhlak di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram.
Analisis terhadap temuan penelitian diuraikan pada bab III. Pada bab ini diuraikan mengenai analisis kegiatan pembelajaran Adab Akhlak dan peranan pembelajaran Adab Akhlak dalam membentuk akhlakul karimah siswa di Madrasah Aliyah Plus (MAP) Abu Hurairah Islamic Centre Al-Hunafa’ Lawata Mataram.
Bab terakhir, bab IV, penutup, khusus menguraikan kesimpulan-kesimpulan dan saran peneliti.




[1] Abdul Wahid & Atun Wardatun, Tendensi Teks: Ambiguitas Visi Sosial Buku PAI SMU Depag RI dan Hasil Bahtsul Masa’il NU (Mataram: Alam Tara Institute, 2009), h. 5.
[2] Ibid.
[3] Ibid., h. 6.
[4] Haidari Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional (Jakarta: kencana, 2004), h. 220.
[5] Survei, Rabu, 21 April – Selasa, 27 April 2010
[6] Choirul Fuad Yusuf (ed.), Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (SMP) (Jakarta: Penacitasatria, 2007), h. 3,
[7] Ibid., h. 4.
[8] Ibid., h. 5.
[9] Pius A. Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 4.
[10] Marwan Ibrahim Al-Kaysi, petunjuk Praktis Akhlak Islam, terj. Esti Mardiani (Jakarta: Lentera, 2003), h. 16.
[11] Partanto, dan Al Barry, Kamus Ilmiah..., h. 14.
[12] Ibid., h.309.
[13] Ibid.
[14] Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Mataram, IAIN Mataram Press, 2009), h. 11.
[15] Nor Ijati, “Pembinaan Akhlak Terhadap Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Gunungsari” (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2007), h.
[16] Muhammad Muarror, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Moral dan Akhlak Siswa Kelas X SMAN 1 Kediri Lombok Barat Tahun Pelajaran 2007/2008” (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2008), h. 101-103.
[17] Siti Masitah, “Penerapan Pendidikan Aqidah Akhlak dalam Membina Kepribadian Siswa Kelas VIII MTs An-Najah Sesela Gunungsari Lombok Barat Tahun Pelajaran 2008/2009” (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2009), h. 66.
[18] Ni’mah Khalid, “Urgensi Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Akhlak Siswa di SMPN 15 Mataram” (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2009), h. 84-85.
[19] Siti Hajar, “Pembelajaran Aqidah Akhlak dan Dampaknya Terhadap Moralitas Siswa Kelas X di MAN 1 Mataram Tahun Pelajaran 2008/2009” (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2009), h. 71-72
[20] Hamdan, “Pembinaan Kepribadian Siswa Melalui Mata Pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah Bayyinul Ulum Santong Lombok Utara Tahun Pelajaran 2008/2009 (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2009), h. 79-80.
[21] Uril Ihsan, Pembelajaran Akidah Akhlak sebagai Upaya Pembentukan Jiwa Beragama Siswa di MTsN 1 Mataram (Mataram: Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram, 2008), h. 3
[22] Choirul Fuad Yusuf (ed.), Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (SMP) (Jakarta: Penacitasatria, 2007), h. 3,
[23] Ibid., h. 4.
[24] Ibid., h. 5.
[25] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi Misi dan Aksi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h.217.
[26] Ibid.
[27] Adopsi dari Shaleh, 2006 : 218.
[28] Ibid., h. 219.
[29] Ibid., h. 221.
[30] Adopsi dari Shaleh, 2006 : 222.
[31] Ibid., h. 223.
[32] Adopsi dari Shaleh, 2006 : 224.
[33] Ibid., h. 225.
[34] Daulay, Pendidikan Islam …, h. 218.
[35] Ibid., h. 222.
[36] Ibid., h. 223.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid., h. 225
[42] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 37.
[43] Ibid., h. 225.
[44] Ibid., h. 226.
[45] Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.
[46] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 1; lihat juga Rahmat Djatmika, Sistem Etika Islam (akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka Islam, 1987), h. 25; HA. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1995), h. 11.
[47] Zahruddin dan Sinaga, Pengantar Ilmu..., h. 4.
[48] Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, (Mitra Cahaya Utama, 2005), Cet ke-2, h. 29
[49] Zahruddin dan Sinaga, Pengantar Ilmu..., h. 4-5.
[50] Ibid., h. 2; Djatmika, Sistem Etika ..., h. 25.
[51] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), Cet ke-2, h. 149
[52] A. Hafizh Dasuki, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Tanjung Mas Inti, 1992 ), h. 670
[53] Ibid., h. 960.
[54] Mustofa, Akhlak Tasawuf..., h. 149-150
[55] http://nurulmumina.wordpress.com/akhlakul-karimah/, diambil tanggal 02 Mei 2010, pukul 10.20 WITA.
[56] Ibid.
[57] Ibid.
[58] Ibid.
[59] Ibid.
[60] ibid.
[61] http://www.scribd.com/doc/9895630/Implementasi-Pembelajaran-Akhlak, diambil tanggal 02 Mei 2010, pukul 10.20 WITA.
[63] Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2002),h. 51.
[64] Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R &D (Bandung: Alfabeta, 2009), h 223
[65] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), h. 129.
[66] Ibid., h. 117.
[67] Ibid., h.146.
[68] Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h.70.
[69] Ibid, h. 83.
[70] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 80.
[71] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 183.
[72] Suharsimi, Prosedur Penelitian…, h. 236.
[73] Ibid., h 244
[74] Moleong, Metodologi Penelitian ..., h. 103
[75] Ibid., h. 103
[76] Mudjia Rahardjo, “Analisis Data Penelitian Kualitatif (Sebuah Pengalaman Empirik)”, dalam http://mudjiarahardjo.com/component/content/221.html?task=view, di ambil tanggal  04 Mei 2010, pukul 23.20 WITA.
[77] Ibid.
[78] Moleong, Metodologi Penelitian ..., h. 175.